Dalam kehidupan sehari-hari yang serba cepat dan penuh tuntutan, kita sering kali terlalu sibuk dengan rutinitas, pencapaian, dan urusan pribadi. Namun, Paus Leo XIV mengingatkan kita akan satu kebenaran mendalam: dalam perjumpaan dengan sesama, kita dapat mengenali siapa diri kita sebenarnya.
Pernyataan ini disampaikan Paus dalam refleksi atas perumpamaan tentang Orang Samaria yang Baik Hati. Beliau menekankan bahwa setiap kali kita bertemu seseorang yang sedang dalam kesulitan—baik itu dalam bentuk fisik, emosional, atau spiritual kita dihadapkan pada sebuah pilihan moral: “untuk peduli atau berpaling.”
Cermin Kemanusiaan Ada pada Sesama
Ketika kita menjumpai orang yang menderita, pertanyaan sejatinya bukanlah siapa mereka, melainkan siapa kita dalam menanggapi mereka. Respon kita menjadi cermin karakter, hati nurani, dan nilai-nilai yang kita hidupi. Apakah kita mampu menunda kenyamanan, meninggalkan agenda pribadi, dan menunjukkan empati? Atau apakah kita memilih untuk melangkah pergi, berpura-pura tidak melihat, dan membiarkan penderitaan itu menjadi "urusan orang lain"?
Menurut Paus, tindakan kita dalam momen-momen ini mengungkap jati diri terdalam kita. Apakah kita manusia yang penuh belas kasih atau hanya pelaku rutinitas yang tertutup oleh ego dan ketidakpedulian?
Belas Kasih Bukan Opsi, Tapi Panggilan
Dalam terang Injil, belas kasih bukan sekadar pilihan baik, melainkan panggilan manusiawi dan spiritual. Paus Leo menegaskan bahwa belas kasih bukanlah monopoli agama tertentu, melainkan panggilan universal bagi semua orang yang ingin hidup dengan hati nurani yang jernih. Menjadi manusia yang sejati berarti mampu merasakan luka orang lain dan hadir untuk mereka, walau itu berarti mengorbankan waktu, tenaga, bahkan rasa aman.
Kita Semua Pernah Jadi Orang yang Terluka
Paus juga mengajak kita untuk melihat ke dalam: bahwa kita semua, pada suatu titik dalam hidup, pernah menjadi “orang yang terbaring di pinggir jalan” terluka, ditinggalkan, tak berdaya. Dalam momen-momen itu, kehadiran seseorang yang mau peduli menjadi berkat yang mengubah segalanya.
Karena itu, saat kita menemui sesama yang terluka, pertanyaan sejati bukan lagi "Haruskah aku peduli?" melainkan "Bukankah aku pun pernah diselamatkan oleh kebaikan orang lain?"
Setiap perjumpaan adalah kesempatan untuk menjadi manusia seutuhnya untuk peduli, untuk hadir, untuk mencintai tanpa syarat. Sebab, seperti yang dikatakan Paus Leo XIV, "Belas kasih bukanlah tanda kelemahan, melainkan kekuatan yang membentuk hati manusia sejati." Dan dalam setiap tindakan kasih, kita pun semakin mengenal siapa diri kita sesungguhnya.
Disarikan dari Vatican News