Dalam majalah Rohani edisi September 2025, Sr. M. Veronica Endah Wulandari MC, dosen IMAVI mengulas fenomena kemungkinan diakon perempuan (diaconissa) dari perspektif hukum Gereja. Menurut Kitab Hukum Kanonik (KHK) 1983, diakon adalah umat Allah yang menerima tahbisan suci tingkat pertama. Terdapat dua bentuk diakon, yakni diakon sementara (transeunte) sebagai tahap menuju imamat, dan diakon permanen (permanente) yang secara tetap hanya menjalankan pelayanan diakonat. Diakon bertugas melayani Sakramen Baptis dan Komuni, memimpin pernikahan kanonik dengan delegasi, memimpin pemakaman, serta memberikan berkat yang diizinkan hukum. Syarat usia, status perkawinan, dan kewajiban selibat diatur secara jelas dalam KHK, namun semuanya ditujukan bagi laki-laki. Tidak ada kanon yang mengatur diaconissa, sebab KHK hanya memakai istilah diaconus tanpa bentuk feminin.
Secara historis, diaconissa dikenal di Gereja Timur abad ke-3 melalui Didascalia siriaca. Mereka melayani kaum perempuan, khususnya dalam baptisan, karena adanya pemisahan sosial yang ketat antara laki-laki dan perempuan. Namun, peran ini berbeda dari diakon laki-laki, sebab tidak mencakup pelayanan altar maupun pewartaan. Konsili Nikea (325) dan Kalsedon (451) menegaskan bahwa diaconissa tidak ditahbiskan secara sakramental. Di Gereja Barat, istilah diaconissa ditolak sejak abad IV-VI. Liber Pontificalis pada Abad Pertengahan memang menyebut adanya “tahbisan diaconissa”, tetapi doa yang digunakan berbeda dari tahbisan diakon laki-laki karena merujuk pada formula monastik untuk pembaktian religius.
Konsili Trente menegaskan bahwa tahbisan sakramental hanya berlaku bagi laki-laki. Paus Yohanes Paulus II dalam Ordinatio Sacerdotalis (1994) menegaskan bahwa Gereja tidak memiliki kuasa menahbiskan perempuan karena tahbisan merupakan konstitusi ilahi. Komisi Teologi Internasional (2002) juga menyimpulkan bahwa peran diaconissa kuno berbeda dari diakon sakramental, serta menegaskan kesatuan Sakramen Tahbisan Suci yang mencakup uskup, imam, dan diakon, yang seluruhnya diperuntukkan bagi laki-laki.
Dalam perkembangannya, Paus Fransiskus sempat membuka ruang kajian dengan membentuk komisi untuk menelaah diakonat perempuan. Namun, beliau tetap menegaskan bahwa tahbisan sakramental bagi diakon perempuan tidak dimungkinkan. Paus menambahkan bahwa perempuan dapat memberikan pelayanan besar seturut jati dirinya sebagai seorang perempuan, tanpa harus ditahbiskan sebagai pelayan sakramental.
Dengan demikian, secara yuridis Gereja Katolik tidak pernah menetapkan norma tahbisan diakon perempuan. Diakon, baik sementara maupun permanen, tetap dipahami sebagai jabatan sakramental dalam hierarki Gereja yang secara hakiki diperuntukkan bagi laki-laki.
Disarikan dari M. Veronica Endah Wulandari, MC. Diakon Perempuan: Perspektif Yuridis. Majalah Rohani. Edisi September 2025. Yogyakarta.