Dalam Injil Mrk. 12:31, Yesus berkata, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Ayat ini sering dikutip untuk menegaskan pentingnya kasih terhadap sesama. Namun, bagian “seperti dirimu sendiri” kerap diabaikan. Padahal, perintah Yesus itu mengandaikan bahwa kita terlebih dahulu memiliki kasih yang sehat terhadap diri sendiri.
Dasar Teologis:
Kasih terhadap diri bukanlah bentuk egoisme. Egoisme berpusat pada diri sendiri dengan mengorbankan orang lain, sedangkan kasih terhadap diri adalah penerimaan yang utuh atas siapa kita di hadapan Allah yakn sebagai ciptaan yang “sungguh amat baik” (Kej. 1:31). Katekismus Gereja Katolik (KGK) tidak menyebutkan “self-love” secara eksplisit, tetapi mengajarkan bahwa setiap pribadi manusia memiliki martabat, karena diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (lih. KGK 1700-1703). Maka, mencintai diri sendiri berarti menghargai martabat itu dengan menjaga tubuh, menjaga kesehatan mental, menetapkan batas yang sehat dalam relasi (self-boundaries), serta mengampuni diri sendiri atas kesalahan masa lalu.
Relevansi dari Mengasihi Sesama seperti Diri Sendiri:
Tanpa kasih terhadap diri, kasih kepada sesama bisa menjadi toksik: kita mudah dimanipulasi, terseret dalam relasi yang merusak, atau merasa “harus” menyenangkan semua orang. Sebaliknya, kasih yang bertumbuh dari penerimaan diri memungkinkan kita mencintai orang lain tanpa kehilangan diri. Kita menjadi mampu berkata “ya” dan “tidak” dengan tulus. Kita memberi bukan karena terpaksa, tapi karena cinta sejati.
Mencintai diri sendiri dalam terang iman bukanlah melarikan diri dari salib, melainkan menyadari bahwa kita pun layak menerima kasih, dari Allah, dari sesama, dan dari diri kita sendiri. Dari situ, kita bisa benar-benar mengasihi sesama seperti kita mengasihi diri sendiri dengan penuh penghargaan, kelembutan, dan kejujuran.
Sumber:
Takhta Suci. (1997). Katekismus Gereja Katolik. Diterjemahkan oleh Komisi Kateketik KWI. Jakarta: Obor.
Kitab Suci. (2009). Alkitab Deuterokanonika–LAI. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia.